Tuesday, June 16, 2009

LAPORAN INVESTIGASI


Investigative dan interpretive reporting masuk dalam kategori comprehensive reporting. Ken Metzler dalam buku Newsgathering mendefinisikan Investigative reporting adalah comprehensive reporting in depth, usually on wrong doing. Sedangkan interpretive reporting is a reporting that seeks meaning beyond superficial reports of events.


Model reportase semacam itu pertamakali muncul di Amerika pada pertengahan tahun 60-an. Kemunculannya dilatari keprihatinan atas kemerosotan citra jurnalis, yang waktu itu cenderung mengumbar berita sensasi. Faktor lain yang juga mendasari adalah kondisi sosial politik yang tidak sehat; korupsi dan kolusi serta kelicikan para pengusaha merajalela hampir di setiap meja birokrasi.


November 1969 muncul berita investigasi yang cukup menggegerkan kalangan militer AS. Isinya mengungkap kejahatan tentara AS di Vietnam. Pembantaian ribuan warga sipil vietnam oleh serdadu Amerika itu dikupas tuntas oleh Seymour Herst, mantan reporter Associated Press, dengan gaya penulisan elegan, jauh dari sensasi. Tahun 1973, Herst juga membuat berita cemerlang yang mengungkap upaya menutup skandal Watergate yang melibatkan Presiden Nixon.


Herst, yang saat itu bekerja untuk New York Times, berhasil mengorek keterangan dari empat saksi yang dibayar untuk melakukan pekerjaan itu. Prestasi Herst terulang lagi ketika dia kembali sukses mengungkap skandal CIA yang secara melanggar hukum memata-matai warga negara AS sendiri di dalam negeri. Tulisan terakhir ini dibuat pada bulan Desember 1974.


Prestasi gemilang Herst memacu semangat jurnalis lainnya. Skandal Watergate menjadi lahan berita empuk mereka. Lengsernya Nixon dari kursi kepresidenan pada tahun 1974, tak lepas dari berita investigasi yang dibuat Robert Woodward dan Carl Bernstein. Keduanya jurnalis untuk Washington Post. Keberhasilan mengungkap kasus tersembunyi itulah yang kemudian berhasil mendongkrak citra jurnalis (investigator).


Itulah sekilas gambaran munculnya trend reportase model investigasi. Disitu tampak, pada umumnya, kasus-kasus yang digarap memiliki eskalasi besar. Perlu dicatat, bahwa dalam melakukan reportase investigasi, mereka juga melibatkan kemampuan interpretive reporting. Dan tentu saja tingkat kesulitannya pun besar pula. Di Indonesia, greget reportase investigasi maupun interpretive masih rendah, meskipun peristiwa atau kasus besar melimpah. Boleh jadi karena kultur politik masa Orde Baru hingga masa transisi ini, tidak atau kurang menunjang kemampuan untuk melakukan itu.


Yang menarik, selama ini kerja investigasi kasus-kasus besar di negeri kita justru dilakukan oleh lembaga atau individu non-jurnalis. Kontras misalnya, cukup dikenal prestasinya dalam melakukan investigasi terhadap korban kekerasan. Juga ICW yang mengkhususkan pada kasus-kasus korupsi. Ini mestinya patut menjadi cermin bagi para jurnalis. Ingat kasus penculikan aktivis dan kasus korupsi yang melibatkan para petinggi pemerintah, kedua lembaga non-pers itulah yang paling besar andilnya mengungkap.


Kemudian, apa dan bagaimana investigative maupun interpretive reporting itu? Seperti terurai di awal tulisan ini, investigative reporting atau reportase investigasi adalah reportase atau penggalian berita mendalam dengan mencari sekomplet mungkin sumber berita. Biasanya, kasus yang diinvestigasi adalah kasus tersembunyi atau yang sengaja disembunyikan.


Dalam melakukan reportase seperti itu, informasi atau data tidak sekadar didapat, melainkan harus diburu, tidak lagi sekadar di-cek dan ri-cek, melainkan di-multicek. Kemudian dirangkai, disusun, dicocok-cocokkan sampai membentuk gambaran cerita utuh dari peristiwa tersembunyi. Dalam proses pencocokan dan penarikan simpul gambaran peristiwa itulah kemampuan interpretive diperlukan.


Ada tiga hal yang perlu dipegang teguh seorang investigator maupun interpretor, yakni ‘moral’, daya endus atau kecerdasan sosial, dan teknik reportase. Yang dimaksud moral disini adalah stamina batin : kesabaran tinggi, keyakinan, dan realisme dalam memilih sumber, memburu informasi, menimbang benar tidaknya informasi, menulis berita, sampai pada memperkirakan dampak tulisannya (David Anderson, dalam Investigative Reporting – sebagaimana dikutip Parakitri Simbolon).


Kemudian yang dimaksud daya endus adalah kemampuan menggali berita dan bukan mendapatkan berita. Karena harus menggali hal-hal tersembunyi,‘kecerdasan sosial’ ini sangat dibutuhkan dan akan menentukan hasil akhirnya. Dengan kemampuan endus, peristiwa yang bakal terjadi dapat tertangkap melalui fakta-fakta yang ada (interpretive). Kemampuan mengendus berita juga termasuk dalam hal mencari narasumber yang tepat dan menuliskannya.


Yang terakhir adalah penguasaan teknik investigasi. Menyangkut teknis, sebenarnya banyak macamnya. Namun secara garis besar kami cantumkan 9 macam :

  • Pertama, menjaring dan memanfaatkan informasi sekecil apapun. Disini ketrampilan mencatat dan mendata informasi diperlukan. Baik yang didengar maupun dilihat.

  • Kedua, menghubungi sumber awal sebanyak-banyaknya.

  • Ketiga, menimbang nilai berita. Pilih data atau informasi mana yang sesuai dan akurat dengan fenomena atau kasus yang tengah diinvestigasi.

  • Keempat, menentukan sumber utama informasi. Pilih orang atau narasumber yang kapable dan dekat kaitannya dengan kasus.

  • Kelima, terus mendekati sumber utama. Usahakan dengan cara apapun agar selalu dekat dengan sumber informasi utama ini. Pantau terus perkembangan informasinya.

  • Keenam, sabar dan jangan mendebat sumber, meskipun sumber tersebut salah komentar. Jadilah pendengar setia dan penanya yang empatis.

  • Ketujuh, jujur dan terus terang. Ketika melakukan investigasi, kadang dilematis untuk berkata jujur dan terus terang maksud kita melakukan wawancara dengan sumber. Tapi sikap tersebut sangat bermanfaat untuk menghindari kesalahpahaman akibat pemberitaan.

  • Kedelapan, wawancara dari hati ke hati. Ciptakan suasana rileks namun mendengarkan dengan penuh perhatian.

  • Kesembilan, menulis kebenaran fakta yang diperoleh.

Akhirnya, perlu diingat bahwa melakukan investigasi adalah pekerjaan praktis. Maksudnya, kemampuan untuk itu tak bisa dijejalkan dengan teori. Pelatihan semacam ini hanyalah berfungsi menggugah atau malah sekadar menyentuh motivasi naluri jurnalistik. Hasil akhirnya hanya akan maksimal dicapai dengan cara mencoba-dan mencoba terus.


Selamat mencoba

No comments:

Post a Comment